Kali ini izinkan saya mengajak rekan pembaca untuk mengenal secuil kisah tentang kampung halaman tempat saya dulu dilahirkan. Sebentar, apakah ada yang kurang berkenan? Kalau ada, silakan tekan tanda back pada layar telepon pintar teman-teman. Namun bila tidak ada, mari kita mulai penelusurannya.
Tuhan menakdirkan saya lahir di sebuah kampung kecil yang terletak di ujung timur kecamtan paseh Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Berbatasan langsung dengan kecamatan Cikancung. Dusun tempat kelahiran saya cukup sederhana. Dikitari sawah, sungai dan jalan. Dusun tersebut bernama dua berarti dusun ke dua. Kenapa dinamakan dua, sebab disana di Kampung saya itu namu dusun dengan abjad hehe. Di Era tahun 80 an terdapat seorang tokoh ulama yang sangat karismatik,sangat berwibawa dan segala perintahnya selalu dilaksanakan oleh murid-muridnya tokoh tersebut adalah KH Mama Mualim Toha dan Kepala Desa yang sekarang adalah murid Beliau .yang mendirikan sebuah Masjid bernama AL_MUTAQIN yang terletak di Kp. Bojong RT.004 Rw 03 Dusun 2 Desa Cigentur, sebelum wapat beliau memberikan nama Kp. Sirnagalih namun kp. Tersebut kurang popular eh ternya sirnagalih di jadikan Jalan yang ada di Desa Cigentur
Dusun dua berada di wilayah desa Cigentur , Kecamatan Paseh, Kab. Bandung. Desa Cigentur sendiri memiliki 4 Dusun . Yang mana setiap dusun rata-rata dihuni oleh 350 KK. Jika per KK katakanlah mempunyai 5 anggota keluarga, maka secara hitungan kasar Desa Cigentur mempunyai jumlah penduduk sekitar 4 x 350 x 5 = 7000 orang. Angka yang cukup besar.
***
Pada bulan Oktober 2013 lalu Desa Cigentur menghelat pesta demokrasi. Yakni pemilihan kepala desa/ periode 2013 – 2019. Mungkin lebih tepatnya bukan pesta kali ya. Kalau pesta itu kesannya mewah, meriah, hura-hura, bersenang-senang. Nah yang terjadi kemarin tidak demikian. Semua berlangsung sederhana. Biasa-biasa saja dan apa adanya. Tidak ada poster wajah calon di tembok-tembok. Tidak ada baliho besar yang dipampang di pinggir jalan. Tidak ada atribut dan sorak-sorai kampanye. Dan juga tidak ada istilah tim sukses apalagi “serangan fajar”. Satu-satunya yang ada hanya spanduk yang dibentangkan di beberapa titik, yang berisikan himbauan atau informasi tentang hari, tempat dan waktu pemilihan Kades digelar.
Saat hari-H tiba, warga satu persatu bergantian mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS). Lalu mencoblos menggunakan hak pilihnya. Setelah itu pulang. Dengan membawa kupon Dorpres Dahselesai. Tidak ada suasana riuh rendah di sana. Semua berjalan lancar dan wajar.
Satu yang menjadi catatan penting. Bahwa selama dua periode ini Desa Cigentur hanya memiliki Dua calon kepala desa. Itupun dengan istrinya,mengingat aturan bahwa calon sekurang kurangnya 2 orang Tidak ada pertarungan di sana. Tidak ada adu strategi dan visi-misi. Tidak ada istilah menang-kalah. Lha wong cuma dua itu pun dengan istrinya yang maju. Ya pasti dia yang menang.
Padahal kalau dipikir-pikir sebenarnya menjadi lurah sekarang itu penak. Selain mendapat jatah digaji. Dan nominal gajinya cukup lumayan. Tapi kenapa, kenapa di desa saya Cigentur tidak ada yang berambisi untuk duduk di kursi itu? Hari gini siapa sih yang tidak pengin punya kedudukan. Tidak pengin punya duit banyak, pangkat, popularitas, nama baik, dll. Kenapa orang-orang di kampung saya tetap memilih hidup seadanya Kondisi ini jelas kontras, bertolak belakang dengan gaya hidup orang-orang modern di zaman sekarang.
Melihat ‘kejanggalan’ ini saya coba menelusuri, mengamati, meneliti, merekam, dan mencatat. Kenapa para warga tak satu pun ada yang minat maju untuk menjadi Kepala Desa. Cukup mencengangkan. Ada beberapa fakta menarik yang berhasil saya temukan. Kenapa sudah dua periode ini Desa Cigentur hanya ada satu calon tunggal Kepala Desa? Apa tidak ada yang berhasrat untuk menjadi yang nomor satu di negeri Cigentur ini? Apa tidak ada yang pengin punya, uang banyak, kehormatan dan kedudukan? Apa tidak ada lagi kaum cerdik-pandai di kampung ini sehingga calonnya itu-itu lagi?
Sebagian besar warga pun menyatakan: menjadi Kades itu berat. “Abot mas sanggané”, kata warga. Lurah itu pemimpin, orang banyak. Jadi pemimpin itu harus jujur, adil, tidak membeda-bedakan warganya. Pemimpin mesti memiliki sikap hamengku (melindungi), hamangku (mengayomi), hamengkoni(memberi teladan). Dasar dari semua sikap tersebut adalah iman. Percaya bahwa menjadi pemimpin itu amanah Tuhan. Diawasi Tuhan. Kelak dimintai pertanggungjawaban. Kudu ati-ati, dan tidak boleh sembarangan. Amanah harus diemban sebaik-baiknya.
“Bukan tanpa alasan kenapa tidak ada yang mencalonkan diri selain H. Hidayat ,saya sebagai orang yang separoh umur saya berada di pemerintahan Desa ternyata ada yang mau menjadi kades .”tetapi selama dua periode kepemimpinan H. Hidayat ,masyarakat menghendaki kali beliau menjadi kades lagi apa alasanya ?
- H, Hidayat dalam memimpin sepertiga waktunya melayani rakyat Jam 2.00 pagi beliau sudah berada di bale desa keliling ngaronda bersama anggota Linmas.
2.Jiwa sosialnya cukup tinggi yang saya perhatikan selama ini apakah ada seorang pemimpin bilamana ada orang yang meninggal atau pun ada mungkin sedikit, hehe beliau mulai dari alat,bahan dan perlenkapannya disediakan oleh desa murni niat Ibadah,bahkan sampai membuat Sodong kata orang sundamah.
3.Dalam melaksanakan gotong royong selalu beliau terdepan tentunya dibantu oleh anak buahnya yaitu prangkat Desa.
- Dalam hal sesuatu beliau melaksanakan Jum,at Keliling,teraweh keliling dan dalam penyelesaian masalah beliau tidak memandang sanak saudara kalau salah ya salah kalau betul ya betul,
- Yang terahir beliau selalu berbaur dengan anak buahnya kata lain Perangkatnya,
Itulah sebagian ciri has pemimpin yang di harapkan oleh masyarakatnya.
Mudah-mudahan dalam period ke tiga beliau bersedia lagi. Istilah nya kalau pemimpin bukan mencalonkan tapi di calonkan oleh warganya.
Demikian boleh percaya boleh tidak silahkan cek sendiri….hatur nuhun
Penulis Endun han han