Namaku Muhammad Ari Anggara Putra Pratama, aku biasa dipanggil Ari. Aku lahir di Bandung, 29 Februari tahun 2000. Mirisnya, aku hanya bisa bertambah usia 4 tahun sekali. Ibuku asli orang Solo dan ayahku asli orang Betawi. Ayah dan ibuku menikah di Solo. Namun, karena berbagai hal ayah dan ibuku memutuskan untuk pindah ke Bandung, tepatnya di Cigentur, salah satu desa yang ada di Kabupaten Bandung.
Aku sekolah dasar di SDN 3 Cigentur, jarak nya hanya sekitar 100 meter dari rumahku. Hari pertama aku masuk sekolah, dengan penuh harapan kulangkahkan kaki menuju sekolah bersama dengan ibuku. Waktu itu umurku sudah beranjak 6 tahun. Seragam putih pendek dengan celana merah pendek telah rapih terpasang di tubuhku. Dengan kaos kaki putih panjang dilapisi dengan sepatu hitam turut menghiasi kaki keciku. Sampainya di sekolah, aku melihat anak-anak dengan berbagai suku dan daerah. Salah satunya adalah Bonar, teman sekelas ku yang berasal dari Riau. “Hallo Bonal, kenalin aku yusuf”, aku menyapa pada Bonar dengan lidah cadelku, dan Bonar menjawab “Hai, aku Bonar bukan Bonal”. Kami pun menjadi teman sebangku.
Sepulang sekolah, sekitar pukul 10.30 WIB aku bermain ke taman bermain bersama dengan ibuku. Disana aku melihat gadis kecil dengan rambut pirang panjang terurai, dengan baju lengan panjang putih lengkap dengan celana panjang hitam, sedang memakan ice cream coklat yang mencair karena paparan sinar matahari. Aku bertanya kepada ibuku “Bu, itu siapa?”, “Itu Sabrina, anaknya tante Rani sama om Steve” sambung ibuku. Lalu aku menghampiri gadis kecil itu untuk mengajaknya bermain bersama, “Sabrina, main yuk” kata ku kepada Sabrina, dan Sabrina menjawabnya dengan menganggukkan kepala. Sedangkan ibuku menunggu dan mengawasiku di kursi taman dekat pohon mangga bersama dengan. Tak lama kemudian, Bonar datang dengan membawa bola plastik dengan maksud ingin mengajakku bermain bola. Aku bersedia, namun Sabrina memilih pulang kerumahnya. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 11.45 WIB, kata Ibuku, “Ari, pulang yuk waktunya tidur siang” kata ibuku kepada ku. Aku pun pulang bersama ibuku untuk tidur siang.
Hari-hari berikutnya aku lewati dengan gembira, sekolah, bermain, dan tidur, itu yang ku tau. Hingga aku kelas tiga sd, aku mengaji di Diniyah Takmiliyah Awaliyah (DTA) Darul Ihya. Bersama dengan guruku Bapak Ustadz Ayi Saepudin yang berasal dari Ambon, aku lewati siang hariku dengan mengaji dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ayat demi ayat aku kumandangkan dengan sepenuh hati. Aku menghafal Al-Qur’an, Juz demi Juz aku hafalkan dengan sepenuh hati. Semenjak saat itu aku diajarkan Shalat hingga Puasa oleh ibuku. Pagi aku sekolah, siangnya aku mengaji dan sorenya aku bermain Itulah aktifitas yang kujalani sehari-hari pada saat itu. Namun aku tau, sahabat karifku Bonar bukan orang Islam, tetapi kata ibuku dia tetap sahabatku. Saling menghargai, saling menghormati itu yang harus aku lakukan kata ibuku. Dan kata Ayahku Bhineka Tunggal Ika harus tertanam dalam diriku sejak dini. Aku tidak tahu arti Bhineka tunggal ika yang sesungguhnya. Aku bertanya pada Bu Irma, guru Bahasa Indonesiaku yang berasal dari Padang. Kata Bu Irma, Bhineka tunggal Ika adalah semboyan bangsa Indonesia yang berarti Berbeda-beda tapi tetap satu.
Hari berganti hari, tak terasa umurku sudah beranjak 12 tahun kala itu. Aku lulus dari SDN 3 Cigentur, dan aku meneruskan pendidikan ku ke SMPN 3 Cikancung, sekolah menengah pertama yang berada di lereng gunung sana. Disekolah aku menjumpai kembali orang-orang yang berbeda suku dan daerah denganku. Dan Bonar sahabat karifku memilih untuk pulang kampung ke Riau. Pada saat aku masuk gerbang sekolah, aku melihat anak dengan tubuh tinggi semampai, kulit sawo matang dan rambut ikal pendek. Aku mengasongkan tanganku kepada anak itu sambil berkata. “Hallo, kenalin aku Ari dari SDN 3 Cigentur”, “Hallo Ari, aku Bentara dari SDN 2 Cikancung, senang berkenalan denganmu”, Bentara menjabat tanganku. Bentara lahir di Maluku, namun sejak umur 7 tahun bentara pindah ke bandung. Bentara menjadi orang pertama yang aku kenal di sekolahku. Dan hari itu menjadi hari yang penuh pengharapan karena kelas akan segera dibagikan. Aku mendapat kelas 7 K sedangkan Bentara mendapat kelas 7 A. 7 K adalah kelas paling akhir tingkat kelas 7 di SMPN 3 Cikancung. Orang bilang kelas akhir itu kelas penyisaan, orang-orang nya kurang pintar dan nakal.
2 bulan berlalu, presepsi orang-orang itu ternyata salah, 7 K merupakan kelas yang aktif dan terkenal karena murid-muridnya yang Cerdas. Hasan Abdul Manaf, teman sekelasku yang berasal dari Cirebon. Kami berkenalan pada hari pertama masuk kelas, “Assalamu’alaikum namaku Hasan, nama kamu siapa?” kata Hasan padaku, “Wa’alaikumussalam, namaku Muhammad Ari Anggara Putra Pratama, aku biasa dipanggil Yusuf” aku menjawab pertanyaan Hasan dengan penuh kegembiraan, karena yang ku ajak bicara ini seagama denganku, yah dia orang Islam. Semenjak itu aku bersahabat dengan Hasan. Disana aku tidak hanya bersahabat dengan Hasan saja, namun aku juga bersahabat dengan Laurent, orang medan asli, yang sangat pandai bernyanyi. Saat Adzan Dzuhur berkumandang di Masjid milik sekolah, aku dan Hasan bergegas mengambil air wudhu untuk menunaikan Shalat Dzuhur. Sedangkan Laurent menunggu kami diluar Masjid, mengingat Laurent merupakan orang yang menganut agama Hindu.
Pada perayaan Hari Kartini, aku, Hasan dan Laurent diutus sebagai perwakilan kelas untuk mengikuti cabang lomba Cerdas Cermat. Pertanyaan-pertanyaan satu persatu dilontarkan oleh dewan juri kepada kami, Alhamdulillah kami mendapat nilai sempurna karena dapat menjawab semua pertanyaan. Akhirnya kami masuk final, dan alhamdulillah sama seperti sebelumnya kami dapat menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan oleh dewan juri, dan kami dinobatkan sebagai Juara 1 pada cabang lomba Cerdas Cermat kali ini. Bu Tuti merupakan wali kelasku yang berasal dari Semarang. Bu Tuti memberikan aku sebuah hadiah yang sangat spesial karena aku, hasan dan laurent berhasil memenangkan lomba cerdas cermat. Saat aku buka hadiah itu, ternyata isinya merupakan bolpoin bergambar teddy bear warna biru, Bu Tuti tahu bahwa aku menyukai warna Biru, sehingga Bu Tuti memberikan Bolpoin berwarna biru kepadaku.
Tak terasa waktu bergulir dengan begitu cepatnya, aku sudah berada dikelas IX D kala itu, bersama dengan Hasan, Laurent dan teman-temanku yang lain. Minggu depannya aku akan melaksanakan UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer). Hingga tiba saatnya, selama 4 hari berturut-turut, pelajaran demi pelajaran telah berhasil aku taklukan. dari Matematika, Ipa, B. Indonesia sampai B. Inggris. Alhamdulillah aku lulus sebagai siswa dengan nilai UN tertinggi disekolah ku. Kemudian aku melanjutkan sekolah ku ke Madrasah Aliyah Negeri Majalaya di Solokanjeruk, yang sekarang namanya berganti menjadi Madrasah Aliyah Negeri 2 Kabupaten Bandung (MAN 2 Kab. Bandung) karena aku ingin menguatkan Imanku kepada Allah SWT. Dengan bekal Do’a dan restu dari orang tua tes demi tes berhasil aku taklukkan, dan aku menjadi siswa dengan nilai tes terbesar kedua setelah Sabrina. Aku ingat bahwa sabrina merupakan gadis kecil yang pernah aku temui waktu kecil. Sabrina lahir di Belanda, namun Sabrina pindah ke Indonesia sejak umur 5 tahun. Sabrina merupakan anaknya tante Rani dan Om Steve. Pembagian kelas telah tertera di Mading sekolah, aku dan Sabrina mendapatkan kelas yang sama, yaitu kelas X Mipa 3. Ada berbagai suku dan daerah, dari Sabang sampai Serauke ada dikelasku. Lisa Mutmainah, orang aceh asli yang pintar menari. Muhammad Jaka, orang ambon asli yang sudah hafal 30 Juz dikelasku. Edrick Thomas, Muallaf yang menjuari lomba MTQ tingkat Internasional. H. Alan Mahmudin, orang asli Jakarta yang terlahir sebagai Tuna Netra, tapi ia telah menjadi Haji Muda yang mabrur. Dan masih banyak lagi teman satu kelasku yang berbeda suku dan daerah denganku.
1 tahun berlalu, Kami semua bersama-sama melewati kegiatan sekolah yang diadakan oleh Osis/Mpk disekolahku. Dimulai dari peringatan HUT RI, Gebyar Muharram, Bulan Bahasa, O2AK, Isra Mi’raj, Hari Kartini, dan Alhamdulillah kelasku selalu menjadi juara dalam setiap perlombaanya, entah juara 1, juara 2, juara 3 atau bahkan juara umum. Hingga akhirnya Sampai di penghujung semester 2, Man Majalaya mengadakan Haflah Imtihan sebagai momen pembagian rapot sekaligus pembagian rangking. Alhamdulillah aku dinobatkan sebagai rangking pertama dikelasku. Rasa syukur Alhamdulillah tak terhenti terucap di mulutku, kebetulan keluarga juga turut hadir dalam acara itu, saat aku bertemu dengan mereka, aku lari, aku peluk ibuku, aku peluk ayahku, aku peluk adikku. Karena tanpa mereka aku tidak akan bisa seperti ini.
Hari demi hari berlalu dengan cepat, tak terasa aku sudah menjadi kelas XII kala itu. Siswa-siswa sudah disibukkan dengan pemantapan-pemantapan, nilai-nilai yang kosong satu persatu diperbaiki siswa, remedial-remedial seakan menghantui pikiran siswa. Kecuali denganku, Muhammad Ari Anggara Putra Pratama, dikelas ku hanya aku yang nilai-nilai nya terisi semua, tidak ada remedial untukku, aku merasa senang tapi masih ada satu hal yang mengganjal Bulan depan adalah jadwalnya UNBK, semua siswa diwajibkan memilih satu mata pelajaran yang ingin diujikan. Mayoritas kelasku memilih mata pelajaran Biologi. Namun berbeda dengan Edrick, Lisa dan aku, kami memilih mata pelajaran Fisika yang diujikan. Dan hanya Alan yang tidak bisa mengikuti UNBK ini. Alan mengikuti UN dengan cara yang berbeda, mengingat Alan merupakan siswa yang tidak bisa melihat (Tuna Netra). Alan mengikuti UN dengan cara dibantu oleh petugas untuk membacakan soal biologinya, dan Alan tinggal menyebutkan jawaban yang dipilihnya.
1 bulan kemudian, UN telah dilaksanakan dengan lancar. Semua siswa kelas XII bersorak ria, karena semua ujian telah mereka laksanakan. Dan tiba di penghujung semester, hari ini merupakan jadwalnya Pelepasan Siswa-Siswi Man Majalaya. Tema perpisahan kali ini adalah “Cintai Budaya dengan Aksi”, semua siswa diwajibkan untuk menggunakan pakaian adat daerah nya masing-masing. Edrick dan aku menggunakan pakaian adat Bandung, dengan Iket sunda yang khas menempel dikepala, dilengkapi dengan pangsi (pakaian adat Sunda) berwarna hitam, dan sepatu kulit warna hitam telah terpasang rapih ditubuhku. Sedangkan temanku yang lain, ada yang menggunakan pakaian adat Aceh, Lampung, Solo, Gorontalo, Bangka Belitung, Yogyakarta dan lain sebagainya. Hingga sampai dipuncak acara, aku dinobatkan sebagai lulusan terbaik di Man Majalaya.
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang terdiri dari 17.504 pulau. Didalamnya terdapat lebih dari 740 suku bangsa / etnis. Indonesia juga menjadi negara dengan bahasa daerah terbanyak, yaitu 583 bahasa dan dialek dari 67 bahasa induk yang digunakan berbagai suku bangsa di Indonesia. Aku bangga lahir di Indonesia, sebagai generasi penerus bangsa kita harus bisa merawat, melestarikan, membuat inovasi dan sadar dengan kekayaan dan keaneka ragaman Indonesia.
Kita tidak bisa mengubah keadaan disekeliling kita, Hidup tidak pernah terasa adil. Justru disitulah ketegaran hidup diperlukan. Bagaimana pun keadaan dan kondisi kehidupan kita saat ini, janganlah pernah berlarut-larut di dalamnya. Mereka yang mampu bersikap tegar atas kehidupan yang dijalani dan selalu berjuang dengan sungguh-sungguh, kelak akan mampu mencapai kebahagiaan sejati. Oleh karena itu selalulah mencoba bersyukur atas apa yang ada. Hidup indah karena perbedaan, bukan karena persamaan.
Allah SWT. tahu yang terbaik bagi hambanya, seperti dalam firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 13 :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Karya : Ahmad Sidik
Indonesia lahir dengan perbedaan
indonesia bersatu karena perbedaan
Dari sabang sampai merauke
Dari miangas sampai pulau rote
Indonesia satu
Bhineka tunggal ika jadi penyatu